CERPEN : Lelaki dan Sebatang Lilin
Posted by Ngurah Jaya Antara
on
0
Malam mulai larut. Angin malam terasa menusuk hingga persendian dan tulang – tulang. Langit mendung. Tak tampak setitikpun cahaya dikejauhan. Gelap. Sunyi. Satu – satunya yang menerangi ruang pengap itu hanya sebatang lilin cebol yang sudah hampir padam. Seperti menanti kematian. Lalu tertelan gelap yang pekat. Pria dalam ruang itu masih duduk bersidekap. Menatap lilin yang hampir padam malah membuatnya bergairah. Seperti menemukan lagi gairah jiwa mudanya. Sungguh. Rambut yang mulai memutih dan rontok. Kerut – kerut didahi, atau gigi yang tanggal. Jelas itu seperti fantasi yang mengarah pada realita. Ia seakan mulai percaya pada kenyataan.
Mimpinya kemarin malam kelewat indah kalau bisa di bilang. Ada seorang pria. Begitu gagah. Terlihat kuat. Berani. Otot – otot menyembul dari balik bajunya yang robek dan kotor. Meringkuk di bawah pohon ketapang. Matanya tak berkedip melihat perempuan di seberang. Begitu elok tubuhnya menari. Meliuk – liuk dengan anggun. Kecantikan yang mempesona. Wajahnya bundar. Senyum yang menawan. Sungguh perempuan mempesona pria di bawah pohon ketapang itu. Lalu sekejap mata mimpi itu buyar. Menghilang entah kemana. Mungkin saja malam telah membawanya pergi. Pria itu berkali – kali mengusap wajahnya. Seakan ada yang salah. Kembali ia mengingat – ingat mimpinya kala itu. Ia merasa itu bukan hanya sekedar mimpi. Ia ingat. Seperti ia ingat beberapa hari kemudian pria itu mengirim sepucuk surat berisi puisi yang berjudul ”harapku pada cintamu” untuk mengungkapkan perasaannya pada orang yang di cinta. Perempuan itu :
Aku hanya seonggok karang di tepi pantai
Yang hanya terdiam ketika ombak menerjang
Aku hanya setitik embun di pagi hari
Yang coba taklukkan dunia dengan kesabaran
Aku hanya sebuah kolam persegi di padang pasir
Hanya khayal, tak pernah ada
Aku hanya sebongkah marmer di tengah ladang berlian
Tak berguna, tak berharga, tak berarti
Tapi bolehkah aku mendapatkan cintamu? Bersamamu?
Karna akulah si buruk rupa yang mendamba cinta dari sang putri,
Darimu...
Kata – kata itu seakan baru saja didengarnya. Bukankah semua memang pernah terjadi? Berpuluh – puluh tahun yang lalu. Ia masih sanggup mengingatnya. Ialah pria itu.
* * *
Bau dalam ruang pengap itu sungguh aneh. Sedang api diatas lilin itu mulai meliuk – liuk liar terhempas angin yang berhasil menerobos celah – celah dinding rumah.
”Sayang lihat lilin itu indah bukan” kata Pria itu sambil lalu. Perempuan yang dipanggil ”sayang” itu tak bergeming. Hanya terdiam. Seakan juga ia sibuk dengan fantasinya sendiri. Lelaki itu tak begitu memperhatikannya. Ia terus saja mengoceh. Menatap api yang menjulur – julur di atas lilin membuatnya semakin bergairah. Ada rasa berbeda. Seperti kekuatan. Api yang membara, menjilat – jilat liar, tak terkendali. Matanya tak berkedip. Ada ingatan – ingatan yang terselip di sela – sela api yang berkobar. Waktu muda dulu. Betapa kuat ia. Semangat yang membara. Otot – otot yang perkasa, kuat. Juga keberanian. Mirip api itu.
Malam demi malam mulai menyelimuti kembali. Pria itu seakan tak punya pilihan. Malam datang tak pernah memberinya kebebasan. Selalu mengekang. Ia selalu bingung darimana harus memulai. Malam selalu membawa kebuntuan pada tiap cara pikirnya. Otaknya seolah dihampiri kegelapan seperti malam. Memaksanya menyalakan lentera – lentera otaknya yang perlahan mulai redup. Seperti usianya.
”Malam ini masih begitu panjang ya sayang...” Pria itu berdehan.
”Tapi lilin itu kelihatannya tak bisa begitu lama lagi menemani kita. Ia akan pergi sayang. Pergi jauh. Meninggalkan kita...” Pria itu terus berceloteh pada perempuan disebelahnya yang terlihat begitu acuh. Ada sedikit kecemasan yang terlintas. Bertemu malam yang pekat. Tanpa bintang. Udara dingin yang menusuk - nusuk tulang. Tapi kenapa itu harus terasa begitu asing? Bukankah mereka lebih mirip santapan makan malam. Bersama perempuan. Pria itu selalu melewati malam bersama. Perempuan yang teramat dicintainya.
Pernah, disuatu malam. Juga pekat dan dingin. Matahari telah lama tenggelam. Melangkah diantara ilalang. Lelaki itu berusaha menyusuri malam. Sendiri. Menyusurinya dengan agak berbeda. Tongkat kayu erat digemgamannya. Terlihat rapuh, namun cukup kuat untuk menopang tubuhnya yang mulai bongkok. Ditatapnya hamparan gelap di depannya. Seperti lautan pekat, tak berujung. Ratusan bahkan ribuan kupu – kupu tiba – tiba muncul dari gelap barat daya. Terbang dengan terseok – seok. Tertimpa cahya rembulan, mereka seakan menari – nari pada panggung lautan pekat itu. Malam. Dan berlalu. Menyisakan kesunyian lagi.
* * *
Ditatapnya wajah perempuan itu lekat. Kegalauannya seakan sirna. Bukankah perempuan itu selalu setia menemaninya? Selalu siap menerima celotehnya yang seakan tak ada habisnya. Berdua. Melewati malam – malam sebelumnya. Lebih gelap. Lebih menusuk tulang belulang. Malam – malam yang tak berujung seperti celotehnya yang selalu menggema di ruang pengap.
Lelaki tua itu berdehan lagi. Lagi ditatapnya wajah perempuan disebelahnya. Sungguh – sungguh. Ia, si perempuan dalam ruang pengap itu. Terlihat seperti sedang tertidur. Terlentang. Kedua matanya terpejam. Kedua tangan terlipat rapi di atas perut. Aneh. Kenapa ia bisa begitu acuh pada sekitar. Dingin yang begitu menusuk atau nyamuk yang sesekali menggigit, mencuri darah. Kenapa ia seperti tak merasakannya? Wajahnya, bahkan sekujur tubuhnya pucat. Ia seperti sedang menahan sakit. Sakit yang teramat sangat. Tak terungkap.
Perempuan itu masih tergeletak dalam ruang pengap itu. Yang membuatnya makin aneh. Wajahnya jelas tak sesuai dengan umurnya sekarang. Bulat. Tak ada kerut – kerut. Muda. Masih tetap sama seperti ketika si pria melihatnya enam puluh dua tahun yang lalu. Persis seperti ketika Pria itu melihatnya sedang menari – nari dengan elok. Sambil meringkuk di bawah pohon ketapang.
Di wajahnya. Wajah perempuan itu seperti tertulis sebuah misteri. Mengerikan. Tapi pria itu sepertinya tak melihatnya. Raut wajah yang penuh misteri. Seakan hendak berkisah tentang keabadian. Mungkinkah beberapa orang didunia terlahir untuk abadi? Sepertinya, perempuan dalam ruang pengap itu. Atau mungkin berliter – liter formalin yang disuntikkan pria itu padanya telah bekerja. Menjadikannya abadi. Tapi kenapa... Kenapa ia terlihat tak begitu menyukainya? Apakah keabadian itu menyakitkan?
Lelaki itu tertegun. Naluri telah membawanya pada suatu pilihan. Menyakitkan. Pedih. Malam kian larut. Petir. Geledek. Bersahut – sahutan. Seperti sebuah pertikaian yang sengit. Membawa gemuruh tangis. Air mata yang tak terbendung. Hujang yang turun begitu deras. Meronta – ronta. Mengamuk. Seperti suara sebuah kebebasan. Kilatan cahaya yang sesekali menerangi langit. Angin yang berhembus liar. Tiang – tiang bambu yang berkereot. Atap – atap jerami yang berhamburan. Bocor. Air yang menetes di ubun – ubun. Mengalir. Perlahan membanjiri ruang pengap.
Di luar kelihatan tak aman. Dalam ruang pengap malah terasa lebih berbahaya. Pria itu membatin gubuk tuanya akan ambruk. Terhempas tiap kali badai menerjang. Tiang – tiang bambu lapuk yang berkereot seperti sebuah peringatan. Tapi ia tak punya pilihan. Diraihnya tubuh perempuan disebelahnya. Ia masih tertidur. Di peluknya. Erat. Meringkuk di tanah. Hanya beralas kain perca. Berharap dapat menepis dingin yang kian menusuk seiring malam yang kian larut. Lilin yang tadi berkobar telah lama padam.
Pria itu sadar. Bahwa ia, seperti halnya lilin itu. Cepat atau lambat akan berakhir. Tak peduli seberapa kuat, seberapa berani ia dulu. Seperti juga ia sadar betapa lemah tangan dan kakinya.
Pria itu semakin gelisah. Hatinya mencelos tiap teringat masa lalu. Terlalu banyak hal yang mengganjal hatinya. Terlalu sakit untuk mengingat semua itu. Ia sadar telah begitu egois. Memaksa keabadian itu bersamanya. Menemaninya. Ditemani perempuan dengan keabadiannya yang semu. Hampir tiap malam. Hanya berdua. Tak lupa juga sebatang lilin. Penerang dimalam yang selalu mengerikan. Menakutkan. Malam yang luas dan tak berujung.
Malam seakan menjadi suatu pertanda. Pertanda petualangan mereka akan segera dimulai. Dalam kegelapan. Kesunyian yang menyakitkan. Memulai celoteh yang hampir sama tak berujungnya seperti malam. Jangkrik – jangkrik yang sesekali berkerikik. Atau burung hantu berkukuk dalam. Pertanda malam telah jauh. Lalu sunyi kembali.
Baginya perempuan itu telah memberinya kenyamanan. Tak ada yang lebih indah dari berbagi kehangatan bersama orang yang dicinta. Setidaknya ada rasa nyaman. Ditemani perempuan yang selalu siap berbagi kehangatan dengannya. Ditengah malam yang dingin. Malam – malam yang tak ada habisnya.
Saat kesepian mulai menggerogoti, perempuan itu akan selalu ada untuknya. Memulai rintih dan celotehnya seperti memulai malam yang takkan pernah ada akhirnya. Berdua. Selalu hanya berdua. Ketika pria itu merasa rindu. Mereka akan meringkuk bersama. Berbagi kehangatan. Hingga esok. Ketika mentari mulai menyongsong. Embun pagi mulai meleleh di dedaunan. Bunga yang bermekaran. Atau burung – burung berkicau riuh sebagai pertanda malam telah berakhir.
Hujan di luar makin lama makin deras. Tak begitu peduli. Suara – suara kebebasan yang bertamabah histeris. Petir. Geledek. Seakan tak mau kalah. Masih sibuk dengan pertikaian mereka yang kian sengit.
”Sayang” kata pria itu mengigil.
”Peganglah tanganku ini, peluklah tubuhku sekuat – kuatnya. Jangan takut, Bukankah kita akan selalu bersama. Seperti janji kita dulu” Perempuan itu hanya terdiam. Membisu. Pria itu berkata dengan terbata – bata.. Lidahnya seakan membeku. Makin kuat. Makin erat, ia memeluk tubuh perempuan disebelahnya. Seperti mengharap kehangatan lebih. Begitu erat. Hingga tubuh mereka seakan menyatu. Bibir – bibir hampir beradu. Masih meringkuk. Diatas kain perca yang mulai basah. Menggigil. Detak jantung yang memburu. Desah napas yang berkabut. Membasahi wajah. Tapi perempuan itu kelihatan tak bernapas. Ia mati. Atau mungkin memang telah lama mati.
by NJA'11
GET UPDATES
Jangan sampai ketinggalan update terbaru. Subscribe dan dapatkan update langsung via email
BACA JUGA